Gudeg Bonggol Pisang, kuliner khas Gunungkidul, akhirnya diakui jadi Warisan Budaya Tak Benda Nasional tahun 2024. Beda sama gudeg biasa yang pakai nangka muda, gudeg ini dibuat dari bonggol pisang—bagian paling bawah dari pohon pisang yang nggak berbuah.
Salah satu yang terus nguri-uri makanan ini adalah Mei Widiastuti, warga Karanggumuk, Karangrejek. Di warung sederhananya, dia jualan Gudeg Bonggol Pisang lengkap dengan lauk khas Gunungkidul. Bumbunya sih standar: bawang merah-putih, kemiri, santan, daun salam, dan daun jati buat warna. Tapi bahan utamanya itu yang bikin beda—bonggol pisang jenis kepok yang dia tanam sendiri.
Katanya, cuma pisang kepok yang cocok karena nggak terlalu banyak getah dan rasanya nggak pahit. Bonggol dipotong kecil, direbus buat ngilangin getah, diperas, terus dimasak sama bumbu dan santan. Kalau mau yang basah tinggal dimasak sebentar, kalau mau yang kering tinggal disusutkan santannya.
Soal rasa, jangan ditanya. Banyak pembeli bilang rasanya mirip daging. Teksturnya padat tapi masih ada krenyesnya. Nggak selembek gudeg nangka, dan nggak pahit sama sekali. Karena itu, banyak yang ketagihan. Mei jual 20 porsi per hari, dan bisa kirim sampai 30 besek kalau ada pesanan. Per porsi cuma lima ribuan, sedangkan besek dibanderol Rp20.000.
Biasanya disajikan bareng nasi, opor ayam kampung, dan jangan lombok alias sayur pedas khas Gunungkidul. Kombinasi manis, gurih, dan pedasnya bikin nagih.
Salah satu pembelinya, Iskandar, ngaku baru pertama kali coba tapi langsung suka. Awalnya ragu karena mikir teksturnya bakal lembek kayak gudeg biasa, tapi ternyata beda. Ada krenyesnya, nggak bau, dan sama sekali nggak bergetah.
Dulu, gudeg ini sering disajikan buat tamu rewang saat hajatan. Makanan ini muncul dari kondisi serba terbatas, tapi tetap bisa jadi hidangan enak. Sekarang, makanan yang sempat dilupakan ini balik lagi dan jadi simbol kekayaan kuliner lokal yang mulai diangkat lagi.
Pengakuan dari negara jadi pengingat bahwa masih banyak makanan tradisional yang belum terekspos dan layak banget buat dilestarikan.
Disadur dari jogjakarya.id