WHO bilang, tinggal di kota padat bisa bikin warga lebih rentan sama penyakit menular kayak TBC dan DBD. Ventilasi buruk dan lingkungan padat jadi faktor utamanya. Tapi, UN-Habitat malah punya pandangan beda. Menurut mereka, tinggal di kota padat justru mempermudah akses ke fasilitas kesehatan dan layanan dasar, asal perencanaannya bagus.
Esteban Leon dari UN-Habitat bilang kalo Di kota padat, akses ke layanan medis lebih gampang, meski jaga jarak sosial kadang susah. Kalau kota dikelola dengan baik, manfaatnya banyak banget, mulai dari udara lebih bersih, waktu tempuh lebih singkat, sampai pengurangan kebisingan.
Contohnya Paris yang lagi ngegas jadi “kota 15 menit.” Maksudnya, semua kebutuhan kayak kerja, sekolah, dan belanja bisa dicapai cuma dengan jalan kaki, naik sepeda, atau transportasi umum. Barcelona juga nggak mau kalah. Mereka keluarin anggaran gede buat bikin trotoar lebih lebar, jalur sepeda sepanjang 21 km, dan zona pedestrian 12 km.
Jakarta gimana? Anies Baswedan pas PSBB transisi 2020 sempat ngenalin bike sharing gratis. Total ada 200 sepeda yang disebar di 9 titik strategis dekat transportasi umum kayak stasiun MRT Bundaran HI dan Tanah Abang. Tujuannya buat ngedukung jarak sosial sekaligus ngajak warga pake transportasi ramah lingkungan.
Antropolog medis Christos Lynteris bilang, bikin kota ramah pedestrian bisa bantu ngurangin penyebaran virus, walau nggak sepenuhnya. Blio bilang, tetap ada risiko nyebar. Cukup satu orang bawa virus, penyebaran tetap mungkin terjadi.
Tapi, pandemi ini juga ngasih pelajaran buat kota-kota. Contohnya, wabah kolera dan demam kuning di Amerika dulu malah bikin mereka ngebangun sistem limbah bawah tanah dan ruang hijau kayak Central Park.
Intinya, pandemi kayak Covid-19 ini jadi momen buat ahli tata kota buat ngubah cara mereka ngerancang kota. Dengan langkah ini, warga bakal makin nyaman, sehat, dan terbiasa dengan kebiasaan baru yang lebih aman.
Disadur dari kompas.com